Kangjeng Kyahi Lintang Yasan Tumenggung Riyokusuman
Kangjeng Kyahi Lintang
Dhapur / Typology Bentuk : Jalak Tilam Sari
Pamor / Motif Lipatan Besi : Nunggak Semi Winengku,
Tangguh : Sri Sultan Hamengkubuwana V, Berkuasa tanggal 19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826. kemudian dari 17 Januari 1828 - 5 Juni 1855 ( diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwana II ).
Nyandang Warangka Darmo Nembung
Kajeng Sawo Kecik ( Sarwo Becik)
Deder Banaran Kajeng kemuning werut
Mendak Rujak Wuni ( Jene Inten, Zamrud, Rubi) dari Perak Murni .
Pendok awak awak dari kuningan dikemalo merah dari sirlak
Sloroknya dari Perak Murni Tatahan Kumoirawan .
Dhapur / Typology Bentuk : Jalak Tilam Sari
Pamor / Motif Lipatan Besi : Nunggak Semi Winengku,
Tangguh : Sri Sultan Hamengkubuwana V, Berkuasa tanggal 19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826. kemudian dari 17 Januari 1828 - 5 Juni 1855 ( diselingi oleh pemerintahan Hamengkubuwana II ).
Nyandang Warangka Darmo Nembung
Kajeng Sawo Kecik ( Sarwo Becik)
Deder Banaran Kajeng kemuning werut
Mendak Rujak Wuni ( Jene Inten, Zamrud, Rubi) dari Perak Murni .
Pendok awak awak dari kuningan dikemalo merah dari sirlak
Sloroknya dari Perak Murni Tatahan Kumoirawan .
Kanjeng Kyahi Lintang dengan sejarah dan asal usulnya yang masih cukup Jelas.
Sekilas Menampilkan 4 warna dalam 1 Bilah ;
Sloroknya Lar Nggelatik seperti warna Abu burung Gelatik , Besi Tapen yang Cemerlang, Satonnya Berserat Kehitaman ; apabila dilihat dari Jauh akan menampakan warna Hitam kehijauan (kepangeranan), Selain itu juga ada karakter Pamor Nunggak semi Menghias Bilah dengan Penempatan yang Rapih .
Dalam serat Among Raga disebutkan “ Adanya bingkai” adalah Salah satu Tanda dari Keris dengan Garap Linuwih.
Sebagian Beranggapan Bingkai yang dimaksud adalah Pamor Wengkon atau bisa jadi maksudnya adalah Penataan pamor yang ditempa rapih sehingga seolah olah terlihat seperti membingkai tidak Nerjang Landep, ataupun Pegat wojo .
Para Sesepuh Tosan Aji juga berpendapat Yang dimaksud Bingkai adalah Besi Tapen ( Garis tipis warna Cemerlang seperti Pamor Akhodiyat ditepian bilah ).
Perbedaan pendapat itu menjadi terasa Begitu harmonis ketika mengamati sebilah Keris ini :
Besi Tapen ditepian Bilah Begitu jelas Sehingga digolongkan sebagai Bingkai pamor wengkon ; warna kontras cemerlang yang Menghias Bilah itu tidak terputus sampai Ujung Panetes .
Garis cemerlang itu terselip diantara batas Besi saton dan slorok ; Akan terlihat lebih jelas Ketika Bilah di Goyangkan, mengingatkan kita dengan Pamor Akhodiyat .
Uniknya cerita turun temurun yang diungkapkan oleh pemilik sebelumnya “Besi tepen yang dimaksud ini sebenarnya tidak dibuat dari Bahan pamor , Melainkan dari Besi Saton dan slorok yang ditapih pada Suhu yang pas dan di tempa dengan sangat Matang “. sayangnya terkait berapa suhu yang pas itu Sampai saat Ini masih menjadi teka teki . Menegaskan Kembali keahlian Empu-empu linuwih dimasa Lampau …..
Berbicara tentang Adikarya leluhur yang luar Biasa tentu tidak lepas Dari nama-nama Empu Yang Tersohor dizamnnya :
Yasan Empu ๐๐ฎ๐ฆ๐๐ง๐ ๐ ๐ฎ๐ง๐ ๐๐ข๐ฒ๐จ๐ค๐ฎ๐ฌ๐ฎman adalah jejeneng Empu yang Membawahi 9 orang empu Pinilih lainnya dengan Keahlian Khusus ; Termasuk Empu Sri Manganti yang kelak membuat Dhapur Pandawa Cinarita untuk Sri sultan Hamengkubuwan VII .
Tumenggung Riyokusumo Membawahi 9 Empu lainnya pada Era Sri Sultan Hamengkubuwana V di Besalen Kriyokusuman ( Nama besalen sebelum berganti Nama Menjadi Besalen Srimanganti ) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Iki denya kang sastra sinandhi, yen ta sira anggaduh pusaka, wesi aji sawarnane, dhapur kang mengku tutur, kekarepan sajrone ngurip, pamor mungguhe donga, mring gusti kang linuhung, tuhu kebak ing sasmita, mara sira ywa ta kendat hamarsudi, kongsi dadi pepadhang.( Serat Sastra Bajra I: 2)
Terjemah bebas:
Inilah yang disebut sastra tersandi. Jika engkau dianugerahi kesempatan merawat pusaka, tosan aji dan yang semisalnya, perhatikanlah dhapur dengan segala ricikannya yang mengandung nasehat, atas berbagai keinginan nafsu dalam kehidupan.
Adapun pamor sebagai lambang doa pengharapan yang tak henti-henti, kepada Gusti Allah Yang Maha Tinggi.
Benar-benar penuh dengan tanda-tanda untuk difahami maknanya, maka janganlah henti engkau mengolah budi memperbaiki diri dari pesan-pesannya, hingga jadilah ia penerang jalan kehidupan.
Keris Lajer Dhapur Jalak Tilam Sari
dengan urat urat besinya yang Lembut terasa licin ketika diraba , serta tatanan pamor yang mapan. Tidak ada cacat seperti "nerjang landhep", atau "pegat waja" (patah baja/besi) atau "pegat pamor" (terpotong pamornya), memiliki penampilan luwes dan sopan, serta ber-guwaya lembut. Sedikit aus atau korosi tentu dapat dimaklumi.
Secara filosofis: pesi melambangkan lingga, ganja (dengan lubangnya) melambangkan yoni. Pesi dan ganja dengan demikian melambangkan kesuburan atau kelahiran. Artinya, inilah renungan tentang awal kehidupan. Pejetan melambangkan benih kehidupan. Ada juga yang mengartikannya sebagai “kerja keras” atau “pekerjaan yang telah ditunaikan”. Tikel alis berarti "alis terlipat" yang dimaknai sebagai dua alis menjadi satu. Dibutuhkan dua orang, dua sisi, satu rasa , suami dan istri, atau ayah dan ibu, yang saling menempelkan alis mereka berdua, lalu terjadilah apa yang selayaknya. Tikel alis ini melambangkan kesetiaan dan kasih sayang.
Makna Jalak sendiri merujuk pada Burung Jalak yang cerdas , Mampu menirukan suara burung lain membuatnya mudah beradaptasi . Hampir semua Jenis makanan seperti biji-bijian, buah-buahan dan Serangga menjadi makanan Burung jalak , sehingga Mudah mendapatkan Rizki. meski demikian tidak pernah membuatnya Sembrono. Burung jalak dituntut untuk Selalu menjaga Hubungan dengan Baik,dan pantang baginya untuk merugikan Orang lain.
Ketika burung jalak makan, Beberapa biji sengaja dijatuhkan ketanah, agar tumbuh dan Lestari menjadi benih baru . Lalu ketika burung Jalak makan buah ia hanya mengambil bagian yang sudah Matang saja . Beberapa serangga juga jadi makanan Burung jalak , terutama Serangga yang meresahkan Para Petani. Kesemuanya itu menggambarkan Pesan Tentang hubungan yang Saling Menguntungkan . Selain itu Burung jalak juga dianggap sebagai burung yang suci yang berarti hiduplah dengan bersih, dengan penuh kejujuran.
Selanjutnya Tilam yang berarti alas tidur, sedangkan sari artinya Bunga /Penghias yang bermakna Keharuman, Ketentraman dan Kebahagiaan . Dengan demikian Tilam Sari artinya tidur dengan Rasa tenteram dan Bahagia , bermakna “ hiduplah dengan bersahaja “.
Bilah pada keris itu sendiri melambangkan "jalan kehidupan" pemiliknya. Bilah yang lurus melambangkan kehidupan yang lurus dan jujur. Untuk bilah ber-luk artinya pemilik pusaka harus menghindari setiap rintangan dan godaan hidup dengan bijaksana. Ujung dari bilah adalah akhir kehidupan, saat-saat kita bertemu dengan Pencipta kita.
"Aja mandheg nang keris, kowe bakal kesasar. Mandhega nang AKU, kowe bakal ketemu sejatine.
Jangan berhenti di keris, kamu akan tersesat. Berhentilah saat sampai pada AKU, kamu akan menemukan hakikatnya." (Mendiang KRT Projokardono)
Menemukan kesejatian adalah sebuah perjalanan yang penuh arti. Demikian konon orang Jawa memahami berbagai hal dalam kehidupan itu berselubung, tertutup oleh yang kasat mata. Maka ia harus dionceki, dikupas lapis-demi lapis sampai menemukan inti, sampai pada yang hakiki. Bagi mereka, dunia itu semu, akhirat itu yang sejati. Manusia itu semu, Gusti Allah-lah yang Sejati.
Maka hal yang semu itu tak terelakkan harus ada, sebab tanpanya kita sulit untuk sampai pada yang sejati. Untuk sampai kepada akhirat yang baik, orang harus menjalani hidup dunia dengan baik. Untuk mengenal Tuhan, manusia harus mengenal dirinya sendiri.
Lalu lahirlah ungkapan "Wong Jawa Nggone Semu" (Orang Jawa cenderung terselubung), "Sinamun ing Samudana" (Menyamarkan berbagai hal dengan pralambang), "Sesadone ingadu Manis" (Keadaan apa pun dihadapi dengan berusaha bermuka manis).
Orang Jawa mengenal parikan, dalam sastra juga ada yang disebut pantun. Pari dan pantun adalah kosakata Jawa Ngoko dan Krama untuk padi. Menurut sebagian sejarawan, Pulau Jawa meminjam nama dari tanaman yang dulu banyak tumbuh padanya ini. Frasa 'Jawawut Dwipa' artinya pulau jelai/padi-padian.
Nah di sini menariknya tanaman padi. Kita bisa memperhatikan bagaimana pada mulanya ia mrekatak (hijau, tumbuh ke atas, tegak, menantang angkasa) lalu pada akhirnya ketika telah berisi ia justru merunduk, menghadap kepada akar, kepada asal, dan kepada tanah yang wulung dan suwung.
Pada saat ia mrekatak itulah gambaran keadaan semu. Dalam pantun, ia disebut 'sampiran'. Dunia ini sampiran (sesuatu yang disampirkan di bahu dan kelak akan dipertanggungjawabkan), sekaligus ampiran, tempat mampir saja. Perjalanan akan berlanjut sampai ke yang sejati, untuk tumungkul, untuk merunduk, untuk menghayati sangkan paraning dumadi. Jasadnya berasal dari tanah, nanti kembali ke tanah. Ruhnya berasal dari Allah, nanti kembali kepada Allah. Itulah isinya pantun, itulah pesan sebenarnya.
Keris dalam pandangan budaya Jawa juga mengandung sasmita tersebut. Ia juga merupakan pasemon. Warangka bisa dilihat sebagai sampiran, sebagai yang semu, menyamarkan bilah sebagai isi yang ada di dalamnya. Tetapi dalam yang semu itu pula tersimpan pesan yang berlapis-lapis, yang harus dionceki untuk sampai pada inti.
Diyakini, semakin tinggi pemahaman, semakin halus pula budi bahasa dan perilaku, maka semakin tersamar penyampaian suatu maksud. Inilah pola komunikasi dengan nyemoni, tidak lugas, bahkan kadang tidak verbal, simbol yang halus tanpa kata. Disemoni adalah diberi suatu pesan dalam tingkat tertinggi.
Sebagaimana keris dengan Jumlah Luk yang selalu ganjil artinya Manusia bisa merencanakan, namun hanya Pencipta yang Maha Tahu dan Maha Kuasa atas takdir. Dialah yang membuatnya genap. Dialah yang akan menyempurnakan segala ikhtiyar dengan hasil terbaik di sisiNya.
Dengan melihat keris , Sang pemilik yang bisa membaca pesan akan memahami pelajarannya. Dengan menyaksikan dan menyeksamai keindahannya berulang-ulang, pemiliknya akan tergerak dan terinspirasi untuk mengamalkan pengajaran dahsyat di dalamnya. Pada akhirnya, dia akan hidup dalam keadaan yang tenteram, merasa cukup, makmur, dan sejahtera. Itulah "tuah" keris yang sesungguhnya. Inilah pusaka kandha. Pusaka yang berbicara memberikan pengajaran.
“ Jimat Ngucap Pusaka Kandha”
Jika kita memperlakukan pusaka hanya sebagai jimat tetapi tidak pernah "membaca pesan-pesannya" dengan benar, kita mungkin hanya akan terjebak pada "jimat ngucap" dengan mengeja mantra seperti, “O, Kangjeng Kyai yang Agung, tolong beri kemakmuran dalam hidupku”, yang tentu saja bagi sebagian penganut agama akan bertabrakan dengan nilai-nilai keimanannya. Tetapi jika ia diperlakukan sebagai pusaka yang sebenarnya dan seutuhnya, pusaka yang 'kandha', kita bisa saja sesekali mengeluarkannya dari warangkanya, mengamatinya, dan membiarkan spirit ,pengajaran, serta Rekaman Do’a - do’a para leluhur itu meresap ke dalam hati dan pikiran kita, memotivasi, menginsipirasi, dan menuntun kita supaya istiqomah di jalan kebenaran dan kebajikan; untuk sampai pada apa yang dicita-citakan.
______________ Do’a dan Harapan Yang Terekam pada Pamor Nunggak Semi Winengku.
๐๐๐ฆ๐จ๐ซ ๐๐ฎ๐ง๐ ๐ ๐๐ค ๐๐๐ฆ๐ข
Nunggak Berasal dari kata “Tunggak” Akar Pohon yang Menancap Kuat Menguatkan Pohon dari Terjangan Badai , Ia Tidak terlihat Tetapi selalu Menjadi Bagian yang Paling penting. Semi / Bersemi artinya ( Bertunas,Tumbuh ) . Bermakna Kelanggengan, Hal hal baik yang Terus Berkelanjutan, Tumbuhnya Harapan Baru Generasi Penerus.
Nunggak semi Artinya Akar ( Tunggak ) yang Bersemi (Tumbuh / Bertunas) , Akar yang Kuat Menancap ketanah adalah Bagian Paling penting pada Pohon, ia Tidak terlihat Tetapi yang paling berjasa Ketika Hempasan badai menerpa. Akar juga bermakna Asal Usul, Orang Tua dan Para Leluhur ; Yang Membimbing , Merestui, serta Mendoakan, mewariskan hal-hal Baik agar Langgeng dan terus berkelanjutan.
Tumbuhnya Tunas Baru , dari akar asal-usul yang tertancap Kuat, Menciptakan Generasi Penerus yang Lebih Baik .
Winengku Sebagai Sipat Kandel, Wujud Kehati hatian dalam Ranah Taqwa.
Hormat Lebih diutamakan sebelum Patuh, maka BERTOSAN AJI yang Utama adalah RASA HORMAT, dari hulu hingga ke hilirnya.
Hormat kepada pembuatnya, kepada karya pusakanya, kepada pemegang-pemegangnya sebelum kita, lalu kepada diri kita sendiri dan sesama. dengan bertosan aji kita menjaga diri kita agar terus berada dalam wewengkon 'sipat kandel', garis tebal yang menabiri kita dari memperturutkan hawa nafsu. Sebab memperturutkan hawa nafsu adalah jalan terjun bebas lepas dari kelayakan dihormati.
Ada hawa nafsu untuk meninggikan diri. Maka pusaka mengajarkan kita untuk tahu diri. Janganlah kita merasa, mengucap, dan bertingkah melebihi yang seyogyanya sesuai ilmu dan 'amal kita. Ada hal yang meskipun benar tetap tidaklah baik; yaitu memuji diri sendiri.
Di keping koin yang sama pada sisi lain, ada hawa nafsu untuk merendahkan orang lain dan segala yang melekat pada mereka. Maka pusaka mengajarkan kita untuk menahan diri. Sebab satu kekurangan orang yang kita tahu, bisa jadi menyembunyikan 1000 kelebihannya. Dan sebab satu kelebihan kita dibanding mereka, boleh jadi menabiri 1000 kekurangan kita.
Sebagai hobi; ilmu dan pengetahuan kita soal tosan aji harus terus bertambah, Rabbii zidnii 'ilmaa. Yang seharusnya menjadi bukti adalah juga pilihan-pilihan kita akan koleksi.….
Mengamati Bagian Gonjo Terdapat Pamor Yang Membentuk lingkaran berlapis lapis Letaknya ada dibawah Pamor tunggak semi , tepat digaris Lurus Pesi kemudian dikenal dengan nama “ ๐๐จ๐ง๐ฃ๐จ ๐๐๐ฆ๐จ๐ซ ๐๐๐ฃ๐๐ญ๐๐ฆ๐๐ง๐๐ง๐ “ ( Terpilihnya Generasi Penerus ).
Sekilas Menampilkan 4 warna dalam 1 Bilah ;
Sloroknya Lar Nggelatik seperti warna Abu burung Gelatik , Besi Tapen yang Cemerlang, Satonnya Berserat Kehitaman ; apabila dilihat dari Jauh akan menampakan warna Hitam kehijauan (kepangeranan), Selain itu juga ada karakter Pamor Nunggak semi Menghias Bilah dengan Penempatan yang Rapih .
Dalam serat Among Raga disebutkan “ Adanya bingkai” adalah Salah satu Tanda dari Keris dengan Garap Linuwih.
Sebagian Beranggapan Bingkai yang dimaksud adalah Pamor Wengkon atau bisa jadi maksudnya adalah Penataan pamor yang ditempa rapih sehingga seolah olah terlihat seperti membingkai tidak Nerjang Landep, ataupun Pegat wojo .
Para Sesepuh Tosan Aji juga berpendapat Yang dimaksud Bingkai adalah Besi Tapen ( Garis tipis warna Cemerlang seperti Pamor Akhodiyat ditepian bilah ).
Perbedaan pendapat itu menjadi terasa Begitu harmonis ketika mengamati sebilah Keris ini :
Besi Tapen ditepian Bilah Begitu jelas Sehingga digolongkan sebagai Bingkai pamor wengkon ; warna kontras cemerlang yang Menghias Bilah itu tidak terputus sampai Ujung Panetes .
Garis cemerlang itu terselip diantara batas Besi saton dan slorok ; Akan terlihat lebih jelas Ketika Bilah di Goyangkan, mengingatkan kita dengan Pamor Akhodiyat .
Uniknya cerita turun temurun yang diungkapkan oleh pemilik sebelumnya “Besi tepen yang dimaksud ini sebenarnya tidak dibuat dari Bahan pamor , Melainkan dari Besi Saton dan slorok yang ditapih pada Suhu yang pas dan di tempa dengan sangat Matang “. sayangnya terkait berapa suhu yang pas itu Sampai saat Ini masih menjadi teka teki . Menegaskan Kembali keahlian Empu-empu linuwih dimasa Lampau …..
Berbicara tentang Adikarya leluhur yang luar Biasa tentu tidak lepas Dari nama-nama Empu Yang Tersohor dizamnnya :
Yasan Empu ๐๐ฎ๐ฆ๐๐ง๐ ๐ ๐ฎ๐ง๐ ๐๐ข๐ฒ๐จ๐ค๐ฎ๐ฌ๐ฎman adalah jejeneng Empu yang Membawahi 9 orang empu Pinilih lainnya dengan Keahlian Khusus ; Termasuk Empu Sri Manganti yang kelak membuat Dhapur Pandawa Cinarita untuk Sri sultan Hamengkubuwan VII .
Tumenggung Riyokusumo Membawahi 9 Empu lainnya pada Era Sri Sultan Hamengkubuwana V di Besalen Kriyokusuman ( Nama besalen sebelum berganti Nama Menjadi Besalen Srimanganti ) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Iki denya kang sastra sinandhi, yen ta sira anggaduh pusaka, wesi aji sawarnane, dhapur kang mengku tutur, kekarepan sajrone ngurip, pamor mungguhe donga, mring gusti kang linuhung, tuhu kebak ing sasmita, mara sira ywa ta kendat hamarsudi, kongsi dadi pepadhang.( Serat Sastra Bajra I: 2)
Terjemah bebas:
Inilah yang disebut sastra tersandi. Jika engkau dianugerahi kesempatan merawat pusaka, tosan aji dan yang semisalnya, perhatikanlah dhapur dengan segala ricikannya yang mengandung nasehat, atas berbagai keinginan nafsu dalam kehidupan.
Adapun pamor sebagai lambang doa pengharapan yang tak henti-henti, kepada Gusti Allah Yang Maha Tinggi.
Benar-benar penuh dengan tanda-tanda untuk difahami maknanya, maka janganlah henti engkau mengolah budi memperbaiki diri dari pesan-pesannya, hingga jadilah ia penerang jalan kehidupan.
Keris Lajer Dhapur Jalak Tilam Sari
dengan urat urat besinya yang Lembut terasa licin ketika diraba , serta tatanan pamor yang mapan. Tidak ada cacat seperti "nerjang landhep", atau "pegat waja" (patah baja/besi) atau "pegat pamor" (terpotong pamornya), memiliki penampilan luwes dan sopan, serta ber-guwaya lembut. Sedikit aus atau korosi tentu dapat dimaklumi.
Secara filosofis: pesi melambangkan lingga, ganja (dengan lubangnya) melambangkan yoni. Pesi dan ganja dengan demikian melambangkan kesuburan atau kelahiran. Artinya, inilah renungan tentang awal kehidupan. Pejetan melambangkan benih kehidupan. Ada juga yang mengartikannya sebagai “kerja keras” atau “pekerjaan yang telah ditunaikan”. Tikel alis berarti "alis terlipat" yang dimaknai sebagai dua alis menjadi satu. Dibutuhkan dua orang, dua sisi, satu rasa , suami dan istri, atau ayah dan ibu, yang saling menempelkan alis mereka berdua, lalu terjadilah apa yang selayaknya. Tikel alis ini melambangkan kesetiaan dan kasih sayang.
Makna Jalak sendiri merujuk pada Burung Jalak yang cerdas , Mampu menirukan suara burung lain membuatnya mudah beradaptasi . Hampir semua Jenis makanan seperti biji-bijian, buah-buahan dan Serangga menjadi makanan Burung jalak , sehingga Mudah mendapatkan Rizki. meski demikian tidak pernah membuatnya Sembrono. Burung jalak dituntut untuk Selalu menjaga Hubungan dengan Baik,dan pantang baginya untuk merugikan Orang lain.
Ketika burung jalak makan, Beberapa biji sengaja dijatuhkan ketanah, agar tumbuh dan Lestari menjadi benih baru . Lalu ketika burung Jalak makan buah ia hanya mengambil bagian yang sudah Matang saja . Beberapa serangga juga jadi makanan Burung jalak , terutama Serangga yang meresahkan Para Petani. Kesemuanya itu menggambarkan Pesan Tentang hubungan yang Saling Menguntungkan . Selain itu Burung jalak juga dianggap sebagai burung yang suci yang berarti hiduplah dengan bersih, dengan penuh kejujuran.
Selanjutnya Tilam yang berarti alas tidur, sedangkan sari artinya Bunga /Penghias yang bermakna Keharuman, Ketentraman dan Kebahagiaan . Dengan demikian Tilam Sari artinya tidur dengan Rasa tenteram dan Bahagia , bermakna “ hiduplah dengan bersahaja “.
Bilah pada keris itu sendiri melambangkan "jalan kehidupan" pemiliknya. Bilah yang lurus melambangkan kehidupan yang lurus dan jujur. Untuk bilah ber-luk artinya pemilik pusaka harus menghindari setiap rintangan dan godaan hidup dengan bijaksana. Ujung dari bilah adalah akhir kehidupan, saat-saat kita bertemu dengan Pencipta kita.
"Aja mandheg nang keris, kowe bakal kesasar. Mandhega nang AKU, kowe bakal ketemu sejatine.
Jangan berhenti di keris, kamu akan tersesat. Berhentilah saat sampai pada AKU, kamu akan menemukan hakikatnya." (Mendiang KRT Projokardono)
Menemukan kesejatian adalah sebuah perjalanan yang penuh arti. Demikian konon orang Jawa memahami berbagai hal dalam kehidupan itu berselubung, tertutup oleh yang kasat mata. Maka ia harus dionceki, dikupas lapis-demi lapis sampai menemukan inti, sampai pada yang hakiki. Bagi mereka, dunia itu semu, akhirat itu yang sejati. Manusia itu semu, Gusti Allah-lah yang Sejati.
Maka hal yang semu itu tak terelakkan harus ada, sebab tanpanya kita sulit untuk sampai pada yang sejati. Untuk sampai kepada akhirat yang baik, orang harus menjalani hidup dunia dengan baik. Untuk mengenal Tuhan, manusia harus mengenal dirinya sendiri.
Lalu lahirlah ungkapan "Wong Jawa Nggone Semu" (Orang Jawa cenderung terselubung), "Sinamun ing Samudana" (Menyamarkan berbagai hal dengan pralambang), "Sesadone ingadu Manis" (Keadaan apa pun dihadapi dengan berusaha bermuka manis).
Orang Jawa mengenal parikan, dalam sastra juga ada yang disebut pantun. Pari dan pantun adalah kosakata Jawa Ngoko dan Krama untuk padi. Menurut sebagian sejarawan, Pulau Jawa meminjam nama dari tanaman yang dulu banyak tumbuh padanya ini. Frasa 'Jawawut Dwipa' artinya pulau jelai/padi-padian.
Nah di sini menariknya tanaman padi. Kita bisa memperhatikan bagaimana pada mulanya ia mrekatak (hijau, tumbuh ke atas, tegak, menantang angkasa) lalu pada akhirnya ketika telah berisi ia justru merunduk, menghadap kepada akar, kepada asal, dan kepada tanah yang wulung dan suwung.
Pada saat ia mrekatak itulah gambaran keadaan semu. Dalam pantun, ia disebut 'sampiran'. Dunia ini sampiran (sesuatu yang disampirkan di bahu dan kelak akan dipertanggungjawabkan), sekaligus ampiran, tempat mampir saja. Perjalanan akan berlanjut sampai ke yang sejati, untuk tumungkul, untuk merunduk, untuk menghayati sangkan paraning dumadi. Jasadnya berasal dari tanah, nanti kembali ke tanah. Ruhnya berasal dari Allah, nanti kembali kepada Allah. Itulah isinya pantun, itulah pesan sebenarnya.
Keris dalam pandangan budaya Jawa juga mengandung sasmita tersebut. Ia juga merupakan pasemon. Warangka bisa dilihat sebagai sampiran, sebagai yang semu, menyamarkan bilah sebagai isi yang ada di dalamnya. Tetapi dalam yang semu itu pula tersimpan pesan yang berlapis-lapis, yang harus dionceki untuk sampai pada inti.
Diyakini, semakin tinggi pemahaman, semakin halus pula budi bahasa dan perilaku, maka semakin tersamar penyampaian suatu maksud. Inilah pola komunikasi dengan nyemoni, tidak lugas, bahkan kadang tidak verbal, simbol yang halus tanpa kata. Disemoni adalah diberi suatu pesan dalam tingkat tertinggi.
Sebagaimana keris dengan Jumlah Luk yang selalu ganjil artinya Manusia bisa merencanakan, namun hanya Pencipta yang Maha Tahu dan Maha Kuasa atas takdir. Dialah yang membuatnya genap. Dialah yang akan menyempurnakan segala ikhtiyar dengan hasil terbaik di sisiNya.
Dengan melihat keris , Sang pemilik yang bisa membaca pesan akan memahami pelajarannya. Dengan menyaksikan dan menyeksamai keindahannya berulang-ulang, pemiliknya akan tergerak dan terinspirasi untuk mengamalkan pengajaran dahsyat di dalamnya. Pada akhirnya, dia akan hidup dalam keadaan yang tenteram, merasa cukup, makmur, dan sejahtera. Itulah "tuah" keris yang sesungguhnya. Inilah pusaka kandha. Pusaka yang berbicara memberikan pengajaran.
“ Jimat Ngucap Pusaka Kandha”
Jika kita memperlakukan pusaka hanya sebagai jimat tetapi tidak pernah "membaca pesan-pesannya" dengan benar, kita mungkin hanya akan terjebak pada "jimat ngucap" dengan mengeja mantra seperti, “O, Kangjeng Kyai yang Agung, tolong beri kemakmuran dalam hidupku”, yang tentu saja bagi sebagian penganut agama akan bertabrakan dengan nilai-nilai keimanannya. Tetapi jika ia diperlakukan sebagai pusaka yang sebenarnya dan seutuhnya, pusaka yang 'kandha', kita bisa saja sesekali mengeluarkannya dari warangkanya, mengamatinya, dan membiarkan spirit ,pengajaran, serta Rekaman Do’a - do’a para leluhur itu meresap ke dalam hati dan pikiran kita, memotivasi, menginsipirasi, dan menuntun kita supaya istiqomah di jalan kebenaran dan kebajikan; untuk sampai pada apa yang dicita-citakan.
______________ Do’a dan Harapan Yang Terekam pada Pamor Nunggak Semi Winengku.
๐๐๐ฆ๐จ๐ซ ๐๐ฎ๐ง๐ ๐ ๐๐ค ๐๐๐ฆ๐ข
Nunggak Berasal dari kata “Tunggak” Akar Pohon yang Menancap Kuat Menguatkan Pohon dari Terjangan Badai , Ia Tidak terlihat Tetapi selalu Menjadi Bagian yang Paling penting. Semi / Bersemi artinya ( Bertunas,Tumbuh ) . Bermakna Kelanggengan, Hal hal baik yang Terus Berkelanjutan, Tumbuhnya Harapan Baru Generasi Penerus.
Nunggak semi Artinya Akar ( Tunggak ) yang Bersemi (Tumbuh / Bertunas) , Akar yang Kuat Menancap ketanah adalah Bagian Paling penting pada Pohon, ia Tidak terlihat Tetapi yang paling berjasa Ketika Hempasan badai menerpa. Akar juga bermakna Asal Usul, Orang Tua dan Para Leluhur ; Yang Membimbing , Merestui, serta Mendoakan, mewariskan hal-hal Baik agar Langgeng dan terus berkelanjutan.
Tumbuhnya Tunas Baru , dari akar asal-usul yang tertancap Kuat, Menciptakan Generasi Penerus yang Lebih Baik .
Winengku Sebagai Sipat Kandel, Wujud Kehati hatian dalam Ranah Taqwa.
Hormat Lebih diutamakan sebelum Patuh, maka BERTOSAN AJI yang Utama adalah RASA HORMAT, dari hulu hingga ke hilirnya.
Hormat kepada pembuatnya, kepada karya pusakanya, kepada pemegang-pemegangnya sebelum kita, lalu kepada diri kita sendiri dan sesama. dengan bertosan aji kita menjaga diri kita agar terus berada dalam wewengkon 'sipat kandel', garis tebal yang menabiri kita dari memperturutkan hawa nafsu. Sebab memperturutkan hawa nafsu adalah jalan terjun bebas lepas dari kelayakan dihormati.
Ada hawa nafsu untuk meninggikan diri. Maka pusaka mengajarkan kita untuk tahu diri. Janganlah kita merasa, mengucap, dan bertingkah melebihi yang seyogyanya sesuai ilmu dan 'amal kita. Ada hal yang meskipun benar tetap tidaklah baik; yaitu memuji diri sendiri.
Di keping koin yang sama pada sisi lain, ada hawa nafsu untuk merendahkan orang lain dan segala yang melekat pada mereka. Maka pusaka mengajarkan kita untuk menahan diri. Sebab satu kekurangan orang yang kita tahu, bisa jadi menyembunyikan 1000 kelebihannya. Dan sebab satu kelebihan kita dibanding mereka, boleh jadi menabiri 1000 kekurangan kita.
Sebagai hobi; ilmu dan pengetahuan kita soal tosan aji harus terus bertambah, Rabbii zidnii 'ilmaa. Yang seharusnya menjadi bukti adalah juga pilihan-pilihan kita akan koleksi.….
Mengamati Bagian Gonjo Terdapat Pamor Yang Membentuk lingkaran berlapis lapis Letaknya ada dibawah Pamor tunggak semi , tepat digaris Lurus Pesi kemudian dikenal dengan nama “ ๐๐จ๐ง๐ฃ๐จ ๐๐๐ฆ๐จ๐ซ ๐๐๐ฃ๐๐ญ๐๐ฆ๐๐ง๐๐ง๐ “ ( Terpilihnya Generasi Penerus ).
Diskusi